KELAS : 4 EA17
NAMA : IGNATIUS BAGAS WIBISONO
NPM : 19211143
TUGAS : 4
ABSTRAK
Ignatius Bagas Wibisono, 19211143
MORALITAS KORUPTOR
Jurnal, Jurusan Manajemen, Fakultas Ekonomi, Universitas Gunadarma, 2014.
Kata Kunci: Moralitas, Koruptor
Korupsi didefinisikan sebagai penyalahgunaan wewenang untuk mengeruk keuntungan bagi kepentingan pribadi, kelompok maupun golongan sendiri. Seseorang yang melakukan korupsi berarti mereka telah mengambil sesuatu yang bukan hak nya untuk memperkaya diri sendiri. Mereka cenderung merasa tidak puas dengan apa yang telah di dapatnya sehingga muncul keinginan untuk mendapatkan sesuatu (baik uang maupun barang) yang lebih banyak lagi secara ilegal. Untuk itu setiap orang perlu mempunyai moralitas yang baik agar tidak melakukan hal-hal yang buruk seperti korupsi
Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana seharusnya produsen mempromosikan suatu produk barang atau jasa kepada konsumen dilihat dari sisi kepentingan perusahaan dan hak-hak konsumen.
Dalam melakukan penulisan ini, penulis menggunakan metode studi kepustakaan (library research) untuk mendapatkan data-data yang konkret untuk keperluan penulisan ini.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari terutama dalam kehidupan sosial, manusia dihadapkan pada norma-norma atau aturan yang berlaku dimasyarakat. Agar mempunyai acuan dalam bertindak atau melakukan perbuatan sehingga tidak melangar aturan dan norma-norma tersebut. Untuk itu, manusia harus mempunyai apa yang disebut moral. Moral menekankan manusia untuk bisa membedakan mana perbuatan yang baik dan mana perbuatan yang buruk.Manusia memang harus mempunyai moral dalam kehidupan sehari-harinya, jika seorang manusia tidak mempunyai moral maka dia akan dianggap buruk oleh masyarakat.
Salah satu tindakan yang menunjukkan kerusakan moral adalah korupsi. Korupsi didefinisikan sebagai penyalahgunaan wewenang untuk mengeruk keuntungan bagi kepentingan pribadi, kelompok maupun golongan sendiri. Seseorang yang melakukan korupsi berarti mereka telah mengambil sesuatu yang bukan hak nya untuk memperkaya diri sendiri. Mereka cenderung merasa tidak puas dengan apa yang telah di dapatnya sehingga muncul keinginan untuk mendapatkan sesuatu (baik uang maupun barang) yang lebih banyak lagi secara ilegal.
Di Indonesia korupsi bukan merupakan hal yang baru, kasus korupsi di Indonesia yang sudah terjadi selama puluhan tahun berhasil diungkap satu per satu saat reformasi digulirkan pada 1998. Peristiwa 1998 ini pun dianggap sebagai peristiwa bersejarah, bahkan mampu menyebabkan hilangnya beberapa nyawa. Kasus korupsi yang terbongkar dimulai dengan tuduhan korupsi yang dilakukan pemimpin rezim Orde Baru, lalu beberapa kasus korupsi pejabat lain. Hingga saat ini tindak korupsi yang ada di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat, bahkan cenderung bertambah. Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan yang semakin sistematis oleh pejabat Negara.
Kasus korupsi tampaknya sudah mendarah daging di kalangan masyarakat Indonesia, terutama yang menduduki posisi pejabat Negara. Baik dari pejabat kalangan bawah seperti camat, lurah sampai pejabat di kalangan atas baik anggota DPR, MPR dan bahkan para Menteri tidak terlepas dari kasus korupsi. Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada masa pemerintahan Presiden SBY merupakan salah satu langkah maju bagi Indonesia dalam upaya memberantas korupsi. Meskipun cukup banyak membongkar kasus korupsi dan menangkap para koruptor, namun tetap saja masih banyak kasus-kasus korupsi yang lain. Bahkan mantan ketua KPK Antasari Azhar yang menjadi pemimpin di lembaga ini juga melakukan korupsi. Ini menunjukkan bagaimana bobroknya mental dan juga moral bangsa kita.
Untuk itu setiap orang perlu mempunyai moralitas yang baik agar tidak melakukan hal-hal yang buruk seperti korupsi. Koruptor yang biasa disebut orang yang melakukan tindak pidana korupsi, merupakan salah satu contoh bagaimana moralitas itu sangat penting. Orang yang tidak mempunyai moral, tidak akan mudah melakukan hal seperti itu. Berdasarkan latar belakang diatas penulis akan membahas jurnal tentang“Moralitas Koruptor”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas rumusan masalah pada penulisan ini adalah:
1. Mengapa korupsi bisa terjadi dan siapa yang harus bertanggung jawab?
2. Bagaimana dampak korupsi terhadap sebuah kegiatan bisnis?
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan ini yaitu:
1. Untuk mengetahui mengapa korupsi bisa terjadi dan megetahui siapa yang bertanggung jawab.
2. Untuk mengetahui dampak negatif dari tindakan korupsi pada suat kegiatan bisnis.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Pengertian Moral
Moral adalah kaidah mengenai apa yang baik dan buruk. Sesuatu yang baik kemudian diberi label “bermoral.” Sebaliknya, tindakan yang bertentangan dengan kebaikan lantas dikategorikan sebagai sesuatu yang jahat, buruk, atau “tidak bermoral”. Secara umum, moral dapat diartikan sebagai batasan pikiran, prinsip, perasaan, ucapan, dan perilaku manusia tentang nilai-nilai baik dan buruk atau benar dan salah. Moral merupakan suatu tata nilai yang mengajak seorang manusia untuk berperilaku positif dan tidak merugikan orang lain. Seseorang dikatakan telah bermoral jika ucapan, prinsip, dan perilaku dirinya dinilai baik dan benar oleh standar-standar nilai yang berlaku di lingkungan masyarakatnya.
2.2 Pengertian Moralitas
Moralitas berasal dari kata dasar “moral” berasal dari kata “mos” yang berarti kebiasaan. Kata “mores” yang berarti kesusilaan, dari “mos”, “mores”. Moral adalah ajaran tentang baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban dan lain-lain, akhlak budi pekerti dan susila. Kondisi mental yang membuat orang tetap berani, bersemangat, bergairah, berdisiplin dan sebagainya.
Secara terminologi moralitas diartikan oleh berbagai tokoh dan aliran-aliran yang memiliki sudut pandang yang berbeda:
1. Franz Magnis Suseno menguraikan moralitas adalah keseluruhan norma-norma, nilai-nilai dan sikap seseorang atau sebuah masyarakat.
2. Menurut W.Poespoprojo (1998: 18)Moralitas adalah kualitas dalam perbuatan manusia yang menunjukkan bahwa perbuatan itu benar atau salah, baik atau buruk. Moralitas mencakup tentang baik-buruknya perbuatan manusia.
3. Emile Durkheim mengatakan, moralitas adalah suatu sistem kaidah atau norma mengenai kaidah yang menentukan tingka laku kita.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dijelaskan bahwa moralitas adalah sopan santun, segala sesuatu yang berhubungan dengan etiket atau adat sopan santun. Sementara dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa moralitas adalah suatu ketentuan-ketentuan kesusilaan yang mengikat perilaku sosial manusia untuk terwujudnya dinamisasi kehidupan di dunia, kaidah (norma-norma) itu ditetapkan berdasarkan konsensus kolektif, yang pada dasarnya moral diterangkan berdasarkan akal sehat yang objektif.
2.3 Moralitas Obyektif
Moralitas obyektif lahir dari kesadaran manusia untuk mencapai kebaikan bersama. Moralitas obyektif adalah tata nilai yang secara obyektif ada dan dipatuhi bersama sebagai konsekuensi dari kodrat manusia sebagai makhluk berakal budi. Moralitas seperti ini hadir dalam bentuk aneka peraturan, perundangan, norma, dan nilai-nilai yang berkembang dalam tata hidup bersama. Ia bisa berwujud aturan yang sudah diwariskan turun-temurun, tetapi bisa juga berwujud aturan yang dengan sengaja dibuat untuk pencapaian kebaikan bersama, misalnya undang-undang, KUHP, aneka tata-tertib, dll. Untuk mencegah korupsi misalnya, manusia kemudian membuat undang-undang antikorupsi.
Pelanggaran terhadap moralitas obyektif ini mengakibatkan si pelanggar dikenai sanksi dan hukum yang berlaku. Seorang koruptor, misalnya, harus dihukum jika secara obyektif dia terbukti melakukan korupsi.
2.4 Moralitas Subyektif
Moralitas subyektif adalah tata nilai yang secara konstitutif ada di dalam hati sanubari manusia. Karena setiap manusia berakal budi, maka setiap manusia mempunyai dalam dirinya sendiri tata nilai yang mengantarnya kepada kebaikan, dan ini harus ditaati. Berbeda dengan moralitas obyektif, pelanggaran terhadap norma subyektif ini tidak bisa dikenai hukum obyektif. Lalu instansi apa yang bisa mengawasi moralitas subyektif semacam ini? Bukan polisi, tentara, jaksa, ataupun KPK, melainkan hati nurani! Hati nurani inilah yang kemudian terlanggar jika seseorang memilih untuk menyimpang kepada keburukan dengan mau-tahu-dan bebas.
2.5 Pengertian Korupsi
Korupsi berasal dari kata Corruption yang berarti kerusakan. Menurut Kamus Istilah Hukum Latin Indonesia Corruption berarti penyogokan. Korupsi secara harfiah berarti jahat atau busuk. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia korupsi adalah penyelewengan atau penggelapan (uang Negara atau perusahaan dsb) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Korupsi juga dapat diartikan sebagai suatu tindak pidana yang berhubungan dengan perbuatan penyuapan dan manipulasi serta perbuatan¬-perbuatan lain yang merugikan atau dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara, merugikan kesejahteraan dan kepentingan rakyat.
Korupsi berdasarkan pemahaman pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Korupsi merupaka tindakan melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri/orang lain (perseorangan atau sebuah korporasi) , yang secara langusng maupun tidak langsung merugikan keuangan atau prekonomian negara, yang dari segi materiil perbuatan itu dipandang sebagai perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai keadilan masyarakat.
Faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi, yaitu :
1. Penegakan hukum tidak konsisten, penegakan hukum hanya sebagai make up politik, sifatnya sementara, selalu berubah setiap berganti pemerintahan.
2. Penyalahgunaan kekuasaan/wewenanng, takut dianggap bodoh kalau tidak menggunakan kesempatan.
3. Langkanya lingkungan yang antikorup, sistem dan pedoman antikorupsi hanya dilakukan sebatas formalitas.
4. Rendahnya pendapatan penyelenggara Negara. Pendapatan yang diperoleh harus mampu memenuhi kebutuhan penyelenggara Negara, mampu mendorong penyelenggara Negara untuk berprestasi dan memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat.
5. Kemiskinan, keserakahan, masyarakat kurang mampu melakukan korupsi karena kesulitan ekonomi. Sedangkan mereka yang berkecukupan melakukan korupsi karena serakah, tidak pernah puas dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keuntungan.
6. Budaya memberi upeti, imbalan jasa dan hadiah.
7. Konsekuensi bila ditangkap lebih rendah daripada keuntungan korupsi, saat tertangkap bisa menyuap penegak hukum sehingga dibebaskan atau setidaknya diringankan hukumannya.
8. Budaya permisif/serba membolehkan, tidak mau tahu, menganggap biasa bila sering terjadi. Tidak peduli orang lain, asal kepentingannya sendiri terlindungi.
9. Gagalnya pendidikan agama dan etika. agama telah gagal menjadi pembendung moral bangsa dalam mencegah korupsi karena perilaku masyarakat yang memeluk agama itu sendiri. Sebenarnya agama bisa memainkan peran yang lebih besar dalam konteks kehidupan sosial dibandingkan institusi lainnya, sebab agama memiliki relasi atau hubungan emosional dengan para pemeluknya. Jika diterapkan dengan benar kekuatan relasi emosional yang dimiliki agama bisa menyadarkan umat bahwa korupsi bisa membawa dampak yang sangat buruk.
2.6 Dampak Korupsi Dalam Kegiatan Bisnis
Dengan adanya praktek korupsi yang sedang marak terjadi di Indonesia, seperti proses perizinan usaha sebuah perusahaan yang berbelit-belit dan dengan biaya tinggi yang tidak pada semestinya dikarenakan ada oknum tertentu dengan sengaja mengambil sebagian biaya tersebut. Dengan adanya praktek pungutan yang tidak semestinya, maka hal tersebut, tentunya sangat berdampak pada kegiatan bisnis dalam suatu perusahaan karena dengan adanya praktek-praktek korupsi oleh pihak-pihak/oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab ini akan membebankan perusahaan seperti adanya High Cost sehingga hal tersebut berpengaruh pula pada harga dari sebuah produk barang atau jasa yang dihasilkan. Hal ini terjadi karena buruknya mental dan minimnya pemahaman serta kesadaran hukum pada para pelaku tindak pidana korupsi tersebut. Dan adanya persepsi dari para pengusaha terjadinya sejumlah kasus korupsi termasuk suap, juga dipicu karena rumitnya urusan birokrasi yang tidak pro bisnis, sehingga mengakibatkan beban biaya ekonomi yang tinggi dan inefisiensi waktu.
2.7 Pihak yang Harus Bertanggung Jawab
Yang harus bertanggung jawab akan adanya korupsi di Indonesia adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tujuan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi menurut pasal 4 adalah untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Sedangkan tugas dan wewenang KPK menurut pasal 6 adalah :
1. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.
2. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.
3. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.
4. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi.
5. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan Negara.
Namun memberantas korupsi bukan hanya kewajiban Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) semata, tapi merupakan tanggung jawab pemerintah dan seluruh elemen bangsa itu sendiri. Peran kita sebagai harapan bangsa selain memberantas korupsi yang ada dalam diri sendiri juga berkewajiban memberantas korupsi yang sudah menjadi mata pencaharian para kelompok-kelompok orang tertentu. Membangun kesadaran mengenai upaya pemberantasan korupsi juga harus dilakukan sejak dini. Penanaman nilai harus dilakukan kepada generasi muda yang notabene merupakan calon penerus jalannya republik ditahun-tahun mendatang.
2.8 Upaya Pemerintah Dalam Memberantas Korupsi
Salah satu isu yang paling krusial untuk dipecahkan oleh bangsa dan pemerintah Indonesia adalah masalah korupsi. Hal ini disebabkan semakin lama tindak pidana korupsi di Indonesia semakin sulit untuk diatasi. Maraknya korupsi di Indonesia disinyalir terjadi di semua bidang dan sektor pembangunan. Apalagi setelah ditetapkannya pelaksanaan otonomi daerah, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, disinyalir korupsi terjadi bukan hanya pada tingkat pusat tetapi juga pada tingkat daerah dan bahkan menembus ke tingkat pemerintahan yang paling kecil di daerah.
Pemerintah Indonesia sebenarnya tidak tinggal diam dalam mengatasi praktek-praktek korupsi. Upaya pemerintah dilaksanakan melalui berbagai kebijakan berupa peraturan perundang-undangan dari yang tertinggi yaitu Undang-Undang Dasar 1945 sampai dengan Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain itu, pemerintah juga membentuk komisi-komisi yang berhubungan langsung dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi seperti Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Upaya pencegahan praktek korupsi juga dilakukan di lingkungan eksekutif atau penyelenggara negara, dimana masing-masing instansi memiliki Internal Control Unit (unit pengawas dan pengendali dalam instansi) yang berupa inspektorat. Fungsi inspektorat mengawasi dan memeriksa penyelenggaraan kegiatan pembangunan di instansi masing-masing, terutama pengelolaan keuangan negara, agar kegiatan pembangunan berjalan secara efektif, efisien dan ekonomis sesuai sasaran.
Di samping pengawasan internal, ada juga pengawasan dan pemeriksaan kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh instansi eksternal yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawas Keuangan Pembangunan (BPKP). Selain lembaga internal dan eksternal, lembaga swadaya masyarakat (LSM) juga ikut berperan dalam melakukan pengawasan kegiatan pembangunan, terutama kasus-kasus korupsi yang dilakukan oleh penyelenggara negara. Beberapa LSM yang aktif dan gencar mengawasi dan melaporkan praktek korupsi yang dilakukan penyelenggara negara antara lain adalah Indonesian Corruption Watch (ICW), Government Watch (GOWA), dan Masyarakat Tranparansi Indonesia (MTI).
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan (library research), dimana penulis melakukan pengumpulan data yang dibutuhkan untuk penelitian ini melalui referensi yang terdapat dari internet, buku-buku dan sumber lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini.
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Pembahasan
Adapun pada penulisan ini penulis mengambil contoh kasus “Kasus korupsi yang menjerat Ketua DPRD Kab. Bangkalan KH. Fuad Amin Imron”
Teka-teki kasus baru menjerat Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Bangkalan, K.H. Fuad Amin Imron, terjawab. Hari ini, Komisi Pemberantasan Korupsi mengumumkan menjerat mantan bupati Bangkalan itu dengan sangkaan pencucian uang. "Terkait dengan pengembangan penindakan dengan tersangka FAI (Ketua DPRD Bangkalan) penyidik menemukan bukti-bukti kuat yang kemudian disimpulkan ada dugaan terjadi tindak pidana pencucian uang," tulis Juru Bicara KPK,
Johan Budi Sapto Prabowo, melalui pesan singkat, Senin (29/12).
Johan menyatakan, berdasarkan hasil gelar perkara KPK menyangkakan ayah dari Bupati Bangkalan saat ini, Makmun Ibnu Fuad, dengan dua pasal. Yakni Pasal 3 Undang-Undang nomor 8 tahun 2010 tentang pemberantasan tindak pidana pencucian uang, dan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang nomor 15 tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan UU nomor 25 tahun 2003 tentang pemberantasan TPPU.
Terkait sangkaan itu, pada Selasa pekan lalu Tim penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi menyatakan telah menyita lima kendaraan roda empat dan sebuah sepeda motor sport merek Kawasaki tipe Ninja terkait kasus suap jual beli gas alam di Bangkalan, Madura, Jawa Timur, dengan tersangka FAI (KH Fuad Amin Imron). Menurut Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi KPK, Priharsa Nugraha, semua kendaraan itu disita sejak kemarin.
"Disita terkait kasus FAI. Dari sebuah rumah di Jakarta. Penyitaan sejak kemarin," tulis Priharsa melalui pesan singkat kepada awak media, Selasa (23/12). Lima mobil itu antara lain Toyota Alphard berwarna perak bernomor polisi B 1250 TFU, Toyota Kijang Innova abu-abu bernomor polisi B1824 TRQ, sedan Suzuki Swift putih bernomor polisi B 1683 TOM, Honda CR-V coklat bernomor polisi B 1277 TJC, serta sedan Toyota Camry hitam bernomor polisi B 1341 TAE. Semuanya terjejer di area parkir Gedung KPK dan ditempel stiker bertuliskan 'Disegel'.
Sementara awak media tidak bisa menemukan keberadaan sepeda motor Kawasaki Ninja. Kabarnya kuda besi itu sudah disimpan di ruang basement Gedung KPK. Jenis Kawasaki Ninja itu pun belum diketahui apakah tipe mesin dua langkah, atau empat langkah, atau jenis motor Kawasaki Ninja berkapasitas di atas 250 cc. Menurut informasi didapat, Fuad menyembunyikan semua kendaraan itu di sebuah rumah miliknya di kawasan Cipinang, Jakarta Timur. Rumah itu juga sempat digeledah setelah Fuadi dicokok di rumahnya di Bangkalan dan digelandang ke Jakarta.
Komisi Pemberantasan Korupsi sebelumnya menetapkan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Bangkalan, Jawa Timur, K.H. Fuad Amin Imron, dan anak buahnya Abdul Rauf, serta Direktur PT Media Karya Sentosa, Antonio Bambang Djatmiko dan Anggota TNI AL Kopral Satu Darmono sebagai tersangka kasus suap dan gratifikasi. Menurut Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto, gratifikasi atau pemberian itu terkait penyimpangan perjanjian jual beli gas buat Pembangkit Listrik Tenaga Gas di Gresik dan Gili Timur, Bangkalan. Serah terima duit itu dilakukan di Jakarta. Yakni tepatnya di Gedung AKA di Bangka Raya, Jakarta Selatan, pada Senin (1/12) siang. Gedung itu diketahui milik Fuad. Pemberinya adalah Antonio.
Antonio menyerahkan duit sebesar Rp 300 juta kepada ajudan Amin, Rauf. Saat ditangkap, di dalam mobil Rauf ditemukan duit sebesar Rp 700 juta. Tak lama setelah penangkapan pertama, tim penyidik menangkap seorang anggota TNI Angkatan Laut berpangkat Kopral Satu bernama Darmono di Gedung Energy Tower atau Energy Building di Pusat Kawasan Bisnis Sudirman (SCBD) Jakarta. Gedung itu dikuasai oleh Medco milik pengusaha Arifin Panigoro. Darmono adalah perantara dan ajudan Antonio. Ketiganya lantas digelandang ke Gedung KPK.
Setelah ketiganya diringkus, tim KPK pada Selasa dini hari menangkap Amin di rumahnya di Bangkalan. Pagi harinya dia diboyong ke Gedung KPK. Atas perannya itu, KPK menyangkakan Amin dan Rauf dengan pasal 12 huruf a atau b atau pasal 5 ayat 2 atau pasal 11 Undang-undang No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah pada UU No 20 tahun 2001 juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana. Keduanya kini dibui di Rutan KPK cabang Pomdam Jaya, Guntur.
Sedangkan Antonio disangkakan dengan pasal pemberi suap atau gratifikasi. Yakni pasal 5 ayat 1 huruf a atau b dan pasal 13 Undang-undang No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah pada UU No 20 tahun 2001. Dia dibui di Rutan Cipinang Kelas I cabang KPK. Sementara itu, KPK menyerahkan proses hukum Koptu Darmono kepada Polisi Militer Angkatan Laut. Sebab, dia juga ditetapkan sebagai salah satu tersangka dalam kasus itu.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Dari contoh kasus di atas menunjukkan bagaimana lemahnya atau buruknya moral bangsa ini. Bahkan seorang mantan menteri yang harusnya bertugas membantu Presiden untuk mensejahterakan rakyat, justru terlibat dalam kasus korupsi bersama staf-staf nya. Ini semakin membuktikan bahwa kalangan pejabat negara baik yang di atas maupun yang di bawah tidak pernah terlepas dari kasus korupsi. Semakin tingi jabatan maka semakin tingi pula godaan. Untuk itu pendidikan moral harus ditanamkan sejak usia dini, agar tidak membuat kita melakukan perbuatan yang tidak bermoral seperti korupsi dan adanya pengawasan serta hukuman yang tegas bagi para koruptor.
5.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas penulis memberikan saran yaitu perlu adanya peningkatan moral dari tiap individu sehingga tidak hanya mementingkan kepentingan masing-masing namun juga mempertimbangkan kepentingan perusahaan dengan segala aspeknya. Peningkatan moral bisa dilakukan sejak dini dengan pendidikan anti korupsi sejak kecil dan mencoba untuk tidak melakukan korupsi dalam hal-hal kecil. Selain itu hukuman yang diberikan kepada koruptor harus tegas agar memberikan efek jera. Seperti diasingkan ke tahanan di sebuah pulau terpencil khusus para koruptor, member hukuman penjara yang tidak sebentar dan memiskinkan para koruptor tersebut, karena para koruptor adalah musuh bangsa yang sesungguhnya.
DAFTAR PUSTAKA
Koran Merdeka. 2014. KH Fuad Amin Dijerat Sangkaan Pencucian Uang. Dalam http://www.merdeka.com/peristiwa/kh-fuad-amin-dijerat-sangkaan-pencucian-uang.html
Koran Merdeka. 2014. KPK Bakal Jerat Fuad Amin Dengan Pasal Penyalahgunaan Wewenang. Dalam http://www.merdeka.com/peristiwa/kpk-bakal-jerat-fuad-amin-dengan-pasal-penyalahgunaan-wewenang.html
http://lailasoftskill.blogspot.com/2013/12/moralitas-koruptor.html
http://melisanti91.blogspot.com/2013/12/moralitas-koruptor.html
http://rizkiafandi.blogspot.com/2013/12/moralitas-koruptor-tugas-4.html
http://indryfile.blogspot.com/2013/11/moralitas-koruptor-tugas-ke-4_27.html
http://senjayakertiawan.wordpress.com/2013/11/26/moralitas-koruptor/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar